We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Bab 160
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 160

George tentu menyadari bahwa orang gila seperti Harvey, kalau sekarang dia terlalu. mengkhawatirkan

Selena, itu hanya akan menyakiti Selena.

Dengan segera, pintu kamar terbuka dan dia melihat Harvey menarik Selena keluar, padahal tubuh

Selena sangat lemah, tetapi pria itu tidak merasa kasihan sama sekali.

Tanpa sadar, George hendak menghampiri, namun Chandra mengingatkannya dengan dingin, “Diam.”

Melihat mulut Selena menganga tanpa berucap, George menjadi khawatir.

Harvey memegang sebuah pistol di tangannya, seolah seperti dewa yang sangat berkuasa, yang dapat

menentukan hidup dan mati seseorang.

“Seli, lihat baik–baik, dia mati karena kamu.”

Selena begitu ketakutan, entah apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan

Harvey.

Karena semakin memohon, itu hanya akan semakin memicu niat Harvey untuk membunuh, tetapi

kalau dia tidak memohon, Harvey juga akan bertindak.

Bagaimana ini? Apa yang sebenarnya harus dia lakukan?

Tepat pada saat ini, terdengar suara yang jelas dan nyaring, “Mati saja kamu, dasar keparat,” ucapnya.

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Terdengar suara Jarren yang entah dipendamnya berapa lama dan selalu mencari

kesempatan.

George pernah mengajarinya menembak, tetapi karena pistol adalah senjata yang berbahaya, George

melarangnya untuk menggunakannya sehari–hari.

Dengan polosnya, dia berpikir bahwa dengan membunuh Harvey, masalahnya akan selesai, dan

Selena juga akan menjadi bebas mulai sekarang.

Suara tembakan terdengar. Tembakan itu bukan berasal dari Harvey, melainkan

Jarren dari sudut yang terabaikan.

1/3

15 BONUS

Pistol itu diarahkan ke arah Harvey, tetapi karena Jarren panik, dan dia juga tidak pandai menembak,

tembakannya meleset.

Peluru melesat menembus angin, langsung melaju ke arah dada Selena.

Peristiwa yang tiba–tiba ini membuat semua orang kaget, tidak ada yang menyangka anak itu

membawa pistol!

Saat melihat peluru itu, Selena sudah dipeluk oleh seseorang.

Dia mencium aroma kayu yang familier, seperti sikap Harvey yang tenang dan

dingin.

Sosok orang yang tinggi itu tidak hanya melindunginya dari angin dan hujan, tetapi

juga melindunginya dari peluru itu.

“Harvey!” teriak Selena menatapnya dengan cemas. Saat ini perasaannya menjadi kacau, dan

pikirannya hanya terfokus pada Harvey.

“Bagaimana keadaanmu? Kamu nggak apa–apa?”

Selena melepas pelukan Harvey, dia merasa lega setelah melihat peluru itu

menembus mantel wol hitam dan mengenai rompi anti peluru di dalamnya.

Tepat pada saat itu, semua penembak jitu membidik Jarren, “Jangan menembak! Dia

cuma anak kecil!” ucap Selena buru–buru.

“Binatang buas yang memperlihatkan taringnya tetap saja binatang. Seli, kalau

bukan karena hari ini aku pakai rompi anti peluru, salah satu dari kita pasti akan

mati,” ujar Harvey mengusap air mata Selena dengan ujung jarinya yang dingin.

Kemudian, dia membungkuk dan berkata dengan lembut di dekat telinganya, ”

Mengasihani musuh sama saja dengan bersikap kejam terhadap diri sendiri.”

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

Saking lembutnya, suara Harvey bahkan tidak terdengar ada kebahagiaan atau

kemarahan.

Akan tetapi, Selena tahu dia marah! Begitu marah.

Selain hal–hal yang berhubungan dengan Selena, emosinya begitu bergejolak. Semakin dia marah

terhadap orang lain, emosinya akan semakin tenang.

Sembari memeluknya dengan erat, Selena memohon dengan lembut dan rendah

hati, “Hanhan, Jarren nggak sengaja menyakitiku, dia masih anak–anak, jangan apa-

apakan dia.”

Harvest tidak tahu mengapa Selena menangis begitu kencang. Melihat ibunya

menangis, Harvest juga ikut menangis.

“Ayah, Ibu!” Tangisan Harvest mengganggu pikiran Harvey, dia pun buru–buru

berlari ke arah Harvey.

Dengan segera, Harvey menggendong anak itu, tangisan Harvest dan Selena di

sebelah kiri dan kanan pun membuat pikirannya menjadi kacau.

Dia terpaksa berkompromi, “Baiklah, aku bisa membiarkan anak ini hidup, tapi dia,”

ujarnya.

Sambil menatap George dengan tatapan tajam, Harvey mengatakannya dengan dingin, “Harus mati.”