We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Ruang Untukmu

Bab 374
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Ruang Untukmu  

Bab 374 

Tasya cemberut. Aku bertemu dan berbicara dengan Pak Wijaya setiap hari di kantor, jadi apa masalahnya?” 

“Tidakkah kamu sadari laki–laki ini memiliki niat tersembunyi terhadapmu?” Elan sangat marah sampai ia

mengencangkan kepalan tangannya kuat 

“Elan, tolong fokus saja pada urusanmu sendiri. Terlebih lagi, bukankah kamu juga punya maksud tersembunyi

terhadapku?” Tasya menganggap laki–laki ini terlalu ikut campur, dan tak heran jadi sering marah. 

Elan terdiam. 

 

“Silakan saja bila kamu ingin mengejarku, tetapi ketika ada laki–laki lain mendekatiku, apakah mereka otomatis

seorang penjahat?” ujar Tasya lagi. Ia tidak pernah melihat ada laki–laki yang sangat mementingkan diri sendiri

seperti dia. 

“Aku mengejarmu sehingga dapat memberi kamu dan Jodi rumah. Orang lain hanya menginginkan uang dan

tubuhmu. Aku tak percaya bila Romi tidak punya maksud untuk mengambil–alih perusahaan ayahmu.” Elan berkata

terus terang. 

Kini, giliran Tasya yang terdiam. Bahkan jika pun Romi berniat seperti itu, ayahnya memang membutuhkannya

sekarang. Juga, ini semata persoalan saling tukar manfaat, jadi tidak menjadi tolok ukur karakter Romi. 

“Hmm, jaga kesehatanmu!” kata Tasya. Kemudian, ia duduk di sofa yang lain dan menatap Elan. “Mohon segera

pergi setelah kamu selesai minum.” 

Menyaksikan Tasya yang mendesaknya untuk segera pergi, Elan mengernyit. “Aku akan makan malam di

rumahmu.” 

“Tidak bisa. Kita tidak saling berhutang apapun, dan kita tak akan saling mengganggu,” tolak Tasya. 

“Bila demikian, seharusnya kamu membiarkan aku mati terkapar di bawah tadi. Mengapa kamu tadi begitu

perduli?” tanya Elan, sambil mengangkat alisnya. 

“Yaa, aku tak akan memerhatikanmu lagi lain waktu.” Tasya tak bersikap baik hati sedikitpun. 

**Tasya, apakah kamu akan senang mendengar kemauanku suatu hari nanti?” Elan tiba–tiba menatap Tasya

dengan pandangan serius sambil berbicara dengan sedih. 

Hati Tasya bergidik, laki–laki ini terlihat seperti sedang mengutuk dirinya sendiri. 

Dalam panik, Tasya lepas omong, “Jangan berkata hal seperu itu, Elan. Bagaimana 

1/3 

aku bisa bahagia bila kamu meninggal dunia? Ibuku sudah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan aku, jadi

kamu harus lebih menjaga dan menghargai hidupmu sendiri.” 

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

Meskipun kata–katanya tidak seluruhnya tulus, Elan masih bisa merasakan perhatian dan kepeduliannya. 

“Baiklah, aku akan berusaha sebaik–baiknya untuk hidup selama aku bisa,” balas Elan dengan penuh keseriusan. 

Tasya meraih ponselnya dan melirik penunjuk waktu di layar. Hampir pukul 6:30 sore, tetapi laki–laki ini masih betah

berada di sini. 

“Sudah semakin malam, dan aku harus mulai mempersiapkan makan malam untuk Jodi sekarang. Kamu bisa

segera pulang bersama Roy. 

“Aku tidak akan pergi,” Elan bertahan. 

“Kamu bisa kelaparan nanti. Aku tidak akan menyiapkan makanan untukmu,” ancam 

Tasya. 

“Tak apa, tak masalah. Aku hanya ingin berdiam di sini.” Elan memicingkan matanya. 

Tasya bangkit dan berjalan menuju ke dapur. Sambil menyiapkan bahan makanan, Tasya akhirnya bersikap

kompromis dan menyiapkan porsi makanan untuk Elan. 

Untuk Roy, dia sudah pasti tidak akan berada di sini saat makan malam nanti. 

Tak lama, Roy membawa pemuda cilik itu keinbali ke rumah. Ketika melihat Elan, Jodi berbahagia. 

“Om Elan, apakah Om akan makan malam bersama kami di sini?” 

“Ya!” 

“Waah, assik!” 

“Pak Elan, aku akan ambilkan obat untukmu Ingat yaa, harus minum pilnya.” Roy membuka pintu dan berlalu. 

Setelah Roy menyerahkan obat–obatan, ia dengan sengaja berjalan menuju dapur dan berkata pada Tasya, “Nona

Merian, mohon pasukan Pak Elan meminum obatnya 

yaa!” 

Tasya memutar badan, tertegun, tetapi Roy sudah pergi. 

Tasya mengintip laki–laki yang sedang di sofa melalui kaca. Apakah laki–laki itu memerlukan pengawasan darinya

hanya untuk minum obat? 

Sementara itu, laki–laki di sofa menatapi sosok yang sedang sibuk di dapur. Paling tidak ia agak khawatir karena

tidak akan mendapat jatah makan malam. 

Namun, ia tahu perempuan itu tidak akan sampai hati melakukannya. 

Di dapur, Tasya menghela napas. Ia tahu bahwa dirinya tidak ingin melihat laki–laki itu lagi, tetapi mengapa dia

tidak bisa menguatkan dirinya untuk menjauh dari laki laki itu tiap kali dia muncul 

Setelah makan malam siap dan berbagai makanan terhidang di meja, Tasya menghampiri Elan di sofa. “Kamu

harus minum obat sebelum atau setelah makan?” 

“Setelah,” jawabnya. 

“Pak Elan harus minum obat tepat pada waktunya supaya lebih cepat sembuh.” 

“Baiklah.” Jawab Elan sambil tersenyum. 

Di meja makan, Jodi meletakkan beberapa jenis makan pada piring Elan layaknya seorang anak yang baik. Elan

memandanginya dengan lembut seakan Jodi adalah anaknya sendiri.

Tasya cemberut. Aku bertemu dan berbicara dengan Pak Wijaya setiap hari di kantor, jadi apa masalahnya?” 

“Tidakkah kamu sadari laki–laki ini memiliki niat tersembunyi terhadapmu?” Elan sangat marah sampai ia

mengencangkan kepalan tangannya kuat 

“Elan, tolong fokus saja pada urusanmu sendiri. Terlebih lagi, bukankah kamu juga punya maksud tersembunyi

terhadapku?” Tasya menganggap laki–laki ini terlalu ikut campur, dan tak heran jadi sering marah. 

Elan terdiam. 

III 

“Silakan saja bila kamu ingin mengejarku, tetapi ketika ada laki–laki lain mendekatiku, apakah mereka otomatis

seorang penjahat?” ujar Tasya lagi. Ia tidak pernah melihat ada laki–laki yang sangat mementingkan diri sendiri

seperti dia. 

“Aku mengejarmu sehingga dapat memberi kamu dan Jodi rumah. Orang lain hanya menginginkan uang dan

tubuhmu. Aku tak percaya bila Romi tidak punya maksud untuk mengambil–alih perusahaan ayahmu.” Elan berkata

terus terang. 

Kini, giliran Tasya yang terdiam. Bahkan jika pun Romi berniat seperti itu, ayahnya memang membutuhkannya

sekarang. Juga, ini semata persoalan saling tukar manfaat, jadi tidak menjadi tolok ukur karakter Romi. 

“Hmm, jaga kesehatanmu!” kata Tasya. Kemudian, ia duduk di sofa yang lain dan menatap Elan. “Mohon segera

pergi setelah kamu selesai minum.” 

Menyaksikan Tasya yang mendesaknya untuk segera pergi, Elan mengernyit. “Aku akan makan malam di

rumahmu.” 

“Tidak bisa. Kita tidak saling berhutang apapun, dan kita tak akan saling mengganggu,” tolak Tasya. 

“Bila demikian, seharusnya kamu membiarkan aku mati terkapar di bawah tadi. Mengapa kamu tadi begitu

perduli?” tanya Elan, sambil mengangkat alisnya. 

“Yaa, aku tak akan memerhatikanmu lagi lain waktu.” Tasya tak bersikap baik hati sedikitpun. 

**Tasya, apakah kamu akan senang mendengar kemauanku suatu hari nanti?” Elan tiba–tiba menatap Tasya

dengan pandangan serius sambil berbicara dengan sedih. 

Hati Tasya bergidik, laki–laki ini terlihat seperti sedang mengutuk dirinya sendiri. 

Dalam panik, Tasya lepas omong, “Jangan berkata hal seperu itu, Elan. Bagaimana 

1/3 

aku bisa bahagia bila kamu meninggal dunia? Ibuku sudah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan aku, jadi

kamu harus lebih menjaga dan menghargai hidupmu sendiri.” 

Meskipun kata–katanya tidak seluruhnya tulus, Elan masih bisa merasakan perhatian dan kepeduliannya. 

“Baiklah, aku akan berusaha sebaik–baiknya untuk hidup selama aku bisa,” balas Elan dengan penuh keseriusan. 

Tasya meraih ponselnya dan melirik penunjuk waktu di layar. Hampir pukul 6:30 sore, tetapi laki–laki ini masih betah

berada di sini. 

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

“Sudah semakin malam, dan aku harus mulai mempersiapkan makan malam untuk Jodi sekarang. Kamu bisa

segera pulang bersama Roy. 

“Aku tidak akan pergi,” Elan bertahan. 

“Kamu bisa kelaparan nanti. Aku tidak akan menyiapkan makanan untukmu,” ancam 

Tasya. 

“Tak apa, tak masalah. Aku hanya ingin berdiam di sini.” Elan memicingkan matanya. 

Tasya bangkit dan berjalan menuju ke dapur. Sambil menyiapkan bahan makanan, Tasya akhirnya bersikap

kompromis dan menyiapkan porsi makanan untuk Elan. 

Untuk Roy, dia sudah pasti tidak akan berada di sini saat makan malam nanti. 

Tak lama, Roy membawa pemuda cilik itu keinbali ke rumah. Ketika melihat Elan, Jodi berbahagia. 

“Om Elan, apakah Om akan makan malam bersama kami di sini?” 

“Ya!” 

“Waah, assik!” 

“Pak Elan, aku akan ambilkan obat untukmu Ingat yaa, harus minum pilnya.” Roy membuka pintu dan berlalu. 

Setelah Roy menyerahkan obat–obatan, ia dengan sengaja berjalan menuju dapur dan berkata pada Tasya, “Nona

Merian, mohon pasukan Pak Elan meminum obatnya 

yaa!” 

Tasya memutar badan, tertegun, tetapi Roy sudah pergi. 

Tasya mengintip laki–laki yang sedang di sofa melalui kaca. Apakah laki–laki itu memerlukan pengawasan darinya

hanya untuk minum obat? 

Sementara itu, laki–laki di sofa menatapi sosok yang sedang sibuk di dapur. Paling tidak ia agak khawatir karena

tidak akan mendapat jatah makan malam. 

Namun, ia tahu perempuan itu tidak akan sampai hati melakukannya. 

Di dapur, Tasya menghela napas. Ia tahu bahwa dirinya tidak ingin melihat laki–laki itu lagi, tetapi mengapa dia

tidak bisa menguatkan dirinya untuk menjauh dari laki laki itu tiap kali dia muncul 

Setelah makan malam siap dan berbagai makanan terhidang di meja, Tasya menghampiri Elan di sofa. “Kamu

harus minum obat sebelum atau setelah makan?” 

“Setelah,” jawabnya. 

“Pak Elan harus minum obat tepat pada waktunya supaya lebih cepat sembuh.” 

“Baiklah.” Jawab Elan sambil tersenyum. 

Di meja makan, Jodi meletakkan beberapa jenis makan pada piring Elan layaknya seorang anak yang baik. Elan

memandanginya dengan lembut seakan Jodi adalah anaknya sendiri.

 

Previous Chapter

Next Chapter