We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Ruang Untukmu

Bad 1128
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 1128 Tamparan

Dia menunjuk Raisa. “I–Ibu tidak menyangka kamu melakukan sesuatu yang sangat kotor. Kamu mengecewakan

Ibu. Kamu itu anak saya. Starla itu ibu baptismu. Bagaimana kamu bisa melakukan ini?”

Raisa terkejut. Dia tak tahu apa yang dibicarakan ibunya, tapi melihatnya begitu sedih membuat Raisa ikut sedih.

“T–Tenang, Bu. Kita bisa membicarakan ini sampai selesai.” Dia mencoba memeluk Clara.

Clara mendorongnya. “Katakan pada Ibu, kenapa kamu berkencan dengan Rendra? Apa yang ada di kepalamu?

Seharusnya kamu tidak menjadi cewek matre. Kamu tidak boleh berkencan dengan seseorang hanya karena

mereka kaya, kenapa kamu melakukan ini?”

Raisa tersipu lebih kuat, lalu dia memucat. Bagaimana ibu tahu tentang

itu?

“Saya melihat semuanya. Kamu memeluk dan menciumnya. Bagaimana kamu bisa melakukan itu? Apa kamu tidak

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

malu? Dia itu pamanmu! Kamu menodai nama baik kami!” Clara masih menangis karena marah. Dia sangat

jengkel dan kecewa.

Raisa panik. Dia terlalu malu untuk menghadapi ibunya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, dan air mata

membendung di matanya. Kekecewaan ibunya terlalu berat untuk dipikul. Dia juga tidak tahu bagaimana

menghibur Clara.

Dia bahkan tak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin dia bisa memberitahu

ibunya kalau mereka saling mencintai, dan bukan karena dia merayu Rendra. Itu hanya akan memperburuk

keadaan Ibu.

“Maafkan saya, Bu. Maafkan saya telah mengecewakanmu,” Raisa meminta maaf. Ia hampir menangis juga.

“Sejauh apa hubungan kalian? Apa kamu..

“Tidak! Tidak, tentu saja tidak. Kami masih pacaran biasa. Tidak ada yang seksual.” Dia malu dan gugup, tetapi dia

harus menjelaskannya.

“Apa kamu jatuh cinta padanya setelah kamu tinggal bersamanya terakhir kali?” dia bertanya. Clara mengira ini

dimulai karena putrinya ingin menikah dengan pria kaya dan berkuasa.

Raisa menggelengkan kepalanya. “Bu, tidak seperti itu-”

“Bersumpah… Bersumpahlah kalau kamu tidak akan pernah mendekatinya. Bersumpah kamu bahkan tidak akan

mengetahui apa pun tentangnya, atau saya akan menolakmu dan mengusirmu dari rumah? Clara mulai

mengancam Raisa.

Raisa memejamkan matanya dan menahan air matanya. Dia bisa merasakan hatinya hancur berkeping–keping,

tetapi dia tidak menunjukkannya, atau ibunya mungkin akan semakin murka.

Raisa mengangguk. “Jangan khawatir, Bu. Saya tidak akan mendekatinya lagi.”

Clara merasakan tusukan rasa sakit di dadanya. Dia duduk di tempat tidur sambil memegangi dadanya. Raisa

segera mendekat untuk memeriksanya. “Jangan sakiti dirimu sendiri karena ini,

Bu. Ini tidak seserius yang kamu pikirkan. Saya akan menjauhinya. Saya akan melakukan apa yang Ibu katakan,

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

oke?”

“Saya berutang banyak padamu, tapi saya juga berutang segunung terima kasih kepada Starla dan keluarganya.

Saya tak menyangka kamu melakukan hal seperti ini. Kamu kira apa yang akan saya rasakan?” Clara marah besar

pada putrinya karena melakukan sesuatu yang kelewatan.

Raisa menyadari bahwa segala sesuatunya tidak sesederhana yang dia pikirkan. Ada terlalu banyak hal yang harus

diperhitungkan, misalnya, orang tuanya berutang budi kepada keluarga Hernandar karena mereka membesarkan

Raisa.

“Apa kamu tahu siapa Rendra itu? Dia itu Wapres, dan yang kamu lakukan itu akan menghancurkan masa

depannya di kancah politik!” Clara merasakan hatinya hancur oleh kemarahannya lagi.

Raisa menjadi pucat. Dia bergetar ketakutan, dan dia memeluk Clara. “Maafkan saya, Bu. Saya tidak akan pernah

menemuinya lagi, saya janji.”

Clara dengan marah menampar punggung Raisa. “Bagaimana kamu bisa melakukan ini, Raisa? Apa yang saya

katakan padamu? Kita ini berutang segunung rasa terima kasih kepada keluarga Hernandar, dan kamu

membalasnya dengan … ini?”

Mata Raisa memerah. Dia menatap lantai dan membiarkan ibunya memukulnya. Rasa sakit itu tidak bersifat fisik

melainkan emosional. Air mata berlinang di pipinya perlahan saat mimpinya menghilang menjadi debu.